6 Jam Perjalanan Pulang





Jendela kereta waktu itu mengkilap, aku dapat melihat dengan jelas pemandangan yang aku lalui, terkadang melewati pepohonan yang rimbun, terkadang sawah yang terhampar, dan terkadang perkotaan yang menggambarkan masyarakat Indonesia, pandanganku ke jendela hanya untuk mengusir bosanku, namun belakangan sebelum aku naik kereta ini ada sebuah artikel menarik, menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk di negara maju saat bepergian. Mereka biasanya ketika bepergian akan membawa buku untuk dibaca disaat mereka mengalami bosan.

Aku penasaran bagaimana jadinya ketika aku pergi lalu ketika bosan datang aku membaca buku. tak lama setelah aku melihat ke arah jendela, aku bangun dari duduk ku dan mengambil tasku yang ada di atas tempat barang, dan membuka resleting pertama dari belakang, mengambil sebuah buku untuk ku baca “ini saat yang tepat untuk mencoba” gumamku. 

Jujur saja aku orang yang tak suka baca buku, karena terkadang membuatku mengantuk dan malas, namun ini berbeda, saat duduk tak ada kerjaan seperti ini, buku ditanganku memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat setiap detail yang ada pada buku ini, memberikan ku gambaran dengan khayalan yang bagus, tapi membaca buku ini hanyalah pembuka untuk kisah ini.

Ini hanyalah pembuka untuk menyampaikan membaca itu memberikan gairah untuk memahami banyak hal.

Ketika aku membaca dan duduk santai di bangku ku yang cukup untuk 2 orang ini, kereta yang ku naiki berhenti, seperti biasa mengambil penumpang untuk dibawa ke tempat yang mereka tuju, aku acuh dengan apa pun karena asyik membaca buku, namun di sela ku membaca, 2 orang wanita masuk ke dalam gerbongku, dari sekian wanita yang masuk, aku tertarik kepada 2 wanita ini, karena  mereka berdua berbeda.

Aku menerka bagaimana kehidupan orang yang mendapatkan jodohnya pada saat seperti ini, bertemu di perjalanan mereka, mungkin ketika nostalgia mereka akan asyik dengan obrolan perkeretaapian, atau pun keadaan perjalanan yang membawa kepada pengalaman menyenangkan seperti ini.

“ inget gak saat kamu dulu culun duduk sendirian sambil baca buku di kereta api itu? ...” kenang sang perempuan

 “iya pasti inget, gimana mau dilupain, disitulah aku ketemu orang yang bisa buat hidup aku lebih asyik dan bahagia” jawab pasangannya.

 atau seperti  ini

“tau gak dulu kenapa aku gak nerusin baca buku pas di kereta dulu?” tanya sang lelaki

“pasti karena aku masuk kan?” jawab pasangannya.

“bukan, sayangku” sambil menjulurkan lidah tanda mengejek

“terus kenapa?” jawab perempuan itu

“karena dulu, buku itu tak cukup menarik untuk mengacaukan pertemuan kita sayang” jawabnya romantis.

Tapi ini akan berbeda cerita ketika mereka sudah berpuluh-puluh tahun, dengan penuh cobaan yang menimpa mereka, pertemuan seperti ini tidak akan menjadi nostalgia indah, tapi pasti akan berubah kepada serapah yang dosa “kamu sih dulu ngapain nyapa2 aku duluan” atau “aku nyesel dulu kamu dateng sok-sok akrab” di sisi ini pertengkaran memberikan nilai minus kepada kedewasaan mereka, dan di titik ini mereka terpaksa mempersalahkan ketentuanNya, aku memang orang yang melihat aspek kehidupan ini dengan kacamata agama terlebih dahulu, maka dari itu sisi kecil ini mengerikan jika terjadi, mengumpat menyalahkan Sang pencipta karena sudah mempertemukan mereka.

Aku kembali membaca, untuk menghindari liarnya pengandaianku, karena ini hanya kejadian biasa menurutku, tak lebih dari sepotong cerita perjalanan, tapi walau ini hanya satu perjalanan, sungguh ini sangat seru, karena setidaknya hanya dengan datangnya 2 orang wanita dapat memberikan cerita lebih.















TUNGGU DULU, cerita ini tak sepotong seperti itu.

Akhirnya aku sedikit melirik barang seperempat detik, begitu kira-kiraku walau aku tak menghitung, melihat apakah mereka cantik seperti ekspektasiku, karena dari tadi, mereka menutupi sebagian wajahnya dengan masker. Kecendrungan wanita sekarang  atau para pengarung perjalanan untuk mengenakan masker dengan berbagai alasannya. Sempat melihat sebentar itu saja, aku melihat mereka memang cantik.

Aduhai, bagaimana ini hatiku bimbang untuk tak menatap mereka lagi, tapi ya sudah lah aku akan melihat sekali lagi, ternyata salah satu dari mereka saja yang aku nilai tak membuatku bosan untuk dipandang, walau aku pikir semua wanita itu cantik. Maka aku kira ini menjadi menarik untuk dilanjuti.

“mungkin dia adalah jodohku” pikirku, aku tersenyum ditutupi bukuku, akan ada cerita seru untuk melewati perjalanan 6 jam ke depan.

Maka aku bereskan  buku yang sedari tadi ku baca, ku benahi duduk ku tadi yang selonjoran menjadi tegap dan terlihat santai. Ku taruh kakiku ke bawah agar terlihat formal seperti kebanyakan orang yang duduk, entah mengapa kali ini sungguh menarik, wajahku kalo diabadikan mungkin terlihat konyol, malu-malu namun senyam-senyum tak jelas, itu tandanya aku memikirkan sesuatu.

“ini hanya sesaat, ingat dia lebih halus dari pada darah pada urat nadimu untuk menggoda” kecamuk pikiran di dalam otak ku, aku termenung dengan kondisi duduk formal seperti ini aku menunduk, kacau memang perbuatanku, aku sedikit mengerti mengapa dikatakan “sesungguhnya anak-anak dan istiri-istri kalian adalah cobaan” atau “sesungguhnya tipu daya dia (para wanita) sangat besar” dia dipoles oleh pengganggu kita untuk menjadi cobaan utama bagi para lelaki.

Aku tertunduk, memikirkan kata-kata itu yang datang sekelebat, aku mengamini memang hatiku yang tak tahan melihat saja sudah menunjukanku kepada yang tak pantas, aku menilai ini tak berlebihan, hanya berkata hai dan berbincang sejenak seakan biasa saja dan berfikiran dia adalah jodohku adalah juga menyalahi takdir “ku bukan penentu tiap-tiap tulisan takdirku, Dia adalah penulis skenario terbaik” 

Aku tidak menyalahkan wanita, tapi aku menyalahkan diriku yang mudah terjatuh seperti itu, bukan takdirNya menjadikan wanita sebagai cobaan, bukan setan yang menggoda diriku, namun memang jiwa ku lemah dan tidak diperkuat. 

Detik-detik berikutnya memberikan renungan di perjalanan ini, hingga aku mendapatkan kesimpulan bahwa wanita itu hebat, sungguh hebat, “menjadi cobaan terberat para lelaki, menjadi parameter akhlak yang baik ketika memperlakukan mereka dengan baik, dan menjadi makhluk yang harusnya paling dihormati oleh semua anak-anak di dunia ini sampai-sampai isyarat surga ada di telapaknya” 

 Namun dalam lebih gamblangnya seorang wanita itu adalah makhluk yang hebat, aku mengutip sebuah ucapan yang dapat dirasakan, dapat dirasakan oleh indra kita, bukan sebuah tabir yang terungkap dari sisi Sang Maha Tinggi, yaitu:

“bagaimanapun kamu memberi sesuatu kepada wanita maka dia akan memberikanmu sesuatu yang lebih hebat, jika kamu memberikan bibit anak, maka  dia akan memberimu seorang bayi, jika kau memberikan rumah (tempat tinggal) maka dia akan memberikan rumah (tempat kembali mengadu dan bercengkrama) jika kamu berikan dia belanjaan, maka dia akan memberikan hidangan, jika kamu memberikan senyuman maka dia akan memberikan hatinya, dia akan melipatgandakan dan memperbesar apa yang kamu beri....”

Aku mengambil bukuku lagi untuk dibaca, membaca setiap kata yang ada, aku sudah puas dengan penasaranku terhadap mereka, sedikit saja aku tak tahu malu mungkin kejadiaanya berbeda, maka detik-detik berikutnya membawa diriku dalam khayal tinggi dengan bernarasi buku tebal ini. 6 jam perjalanan memberikan sedikit cerita hebat bagi mereka yang suka menikmati indahnya perjalanan, walau menjadi jauh dari asal tapi mendekat dengan tujuan.

Komentar